Nafsu biologis bisa disalurkan melalui jalan yang halal yakni pernikahan. Istri-istri kita menjadi halal ketika pernikahan resmi sudah dilaksanakan dengan sarat dan rukunnya. Maka saat itulah suami boleh menggauli istri kapan saja ia mau, kecuali saat haidh.
Datangilah sesuka hatimu, karena istri ibarat tanah tempat bercocok tanam. Namanya bercocok tanam maka harus ditempatnya, tidak boleh diluar itu, misalkan melalui lubang kotoran (dubur).
Allah swt berfirman
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS Al Baqarah 223)
SEBAB TURUNNYA AYAT: Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Abu
Daud dan Tirmizi dari Jabir, katanya, "Orang-orang Yahudi mengatakan
bahwa jika seseorang mencampuri istrinya dari belakangnya, maka anaknya
akan lahir dalam keadaan bermata juling, maka turunlah ayat ini,
'Istri-istrimu adalah tempat persemaian bagimu...'" (Q.S. Al-Baqarah
223) Ahmad dan Tirmizi mengetengahkan dari Ibnu Abbas, katanya, "Umar
datang menemui Rasulullah saw. katanya, 'Wahai Rasulullah! Saya telah
celaka.' 'Apa yang mencelakakan kamu?' Ujarnya, 'Aku telah pindahkan
arah persetubuhan saya di waktu malam.' Nabi saw. tidak memberikan
jawaban apa-apa, hanya Allah menurunkan, 'Istri-istrimu itu menjadi
tempat persemaian bagi kamu, maka datangilah tempat persemaian di mana
saja kamu kehendaki.' (Q.S. Al-Baqarah 223) Apakah menghadap ke depan
atau ke belakang. Yang dijaga olehmu hanya dubur dan haid." Ibnu Jarir
mengetengahkan, Abu Ya`la dan Ibnu Marda dari jalur Zaid bin Aslam, dari
Atha' bin Yasar dari Abu Said Al-Khudri bahwa seorang laki-laki
mencampuri istrinya dari arah duburnya, hingga orang-orang pun
menyalahkannya. Maka turunlah ayat, "Istri-istrimu adalah sebagai tempat
persemaian bagimu..." (Q.S. Al-Baqarah 223) Bukhari mengetengahkan dari
Ibnu Umar, katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai soal mencampuri
wanita pada dubur mereka." Sementara Thabrani mengetengahkan dalam
Al-Ausath dengan sanad yang cukup baik darinya, katanya, "Diturunkan
ayat itu kepada Rasulullah saw. sebagai keringanan tentang mencampuri
wanita dari dubur (belakang) mereka." Diketengahkan lagi daripadanya
bahwa seorang laki-laki mencampuri istrinya dari belakang, hingga
Rasulullah menyalahkannya. Maka Allah swt. pun menurunkan,
"Istri-istrimu itu menjadi tempat persemaian bagimu." (Q.S. Al-Baqarah
223) Abu Daud dan Hakim mengetengahkan dari Ibnu Abbas, katanya,
"Menurut Ibnu Umar, mereka itu yakni golongan Ansar hanyalah
pemuja-pemuja berhala yang tinggal berdampingan dengan golongan Yahudi,
termasuk Ahli Kitab hingga mereka merasa bahwa orang-orang Yahudi itu
ada kelebihan atas mereka dalam soal ilmu pengetahuan, lalu mereka
contoh dan ikuti perbuatan-perbuatan mereka. Salah satu kebiasaan Ahli
Kitab adalah bahwa mereka itu mencampuri istri-istri mereka menurut satu
corak permainan saja, yaitu dengan posisi menindihi wanita dari depan.
Kebiasaan ini telah diambil dan menjadi kebiasaan pula bagi orang-orang
Ansar. Sebaliknya yang terjadi di kalangan orang-orang Quraisy adalah
mereka mencampuri wanita dengan berbagai cara, adakalanya menghadap ke
muka, belakang, menelungkup, menelentang dan sebagainya. Tatkala
orang-orang Muhajirin datang ke Madinah, seorang laki-laki mereka
kebetulan kawin dengan seorang wanita Ansar, dalam berhubungan kelamin
dia memperlakukan istrinya seperti kebiasaan orang-orang Quraisy, hingga
ia menolak dan mengatakan, 'Kami tidak biasa diperlakukan seperti itu.'
Hal itu tersiar kepada umum dan sampai ke telinga Rasulullah saw.
hingga Allah pun menurunkan, 'Istri-istrimu adalah tempat persemaian
bagimu, maka datangilah tempat persemaianmu itu menurut kehendak
hatimu.' (Q.S. Al-Baqarah 223) Artinya apakah sambil menelentang atau
menelungkup, maksudnya tempat anaknya." Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan
dalam syarah Bukhari, "Sebab yang disebutkan Ibnu Umar mengenai turunnya
ayat ini dikenal umum dan seolah-olah hadis Ibnu Said tidak sampai
kepada Ibnu Abbas dan yang sampai itu hanyalah hadis Ibnu Umar hingga
menimbulkan kesalahpahaman."
No comments:
Post a Comment