Keterangan
- "Shalat wusthaa" ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. Ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan "shalat wusthaa" ialah shalat Ashar. Menurut kebanyakan ahli hadits, ayat ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
SEBAB TURUNNYA AYAT: Ahmad dan Bukhari mengetengahkan dalam kitab
Tarikh, juga oleh Abu Daud, Baihaqi dan Ibnu Jarir dari Zaid bin Tsabit
bahwa Nabi saw. melakukan salat zuhur di tengah hari yang panas sekali.
Salat itu merupakan yang terberat bagi para sahabatnya, hingga turunlah
ayat, "Peliharalah semua salat dan salat yang pertengahan!" (Q.S.
Al-Baqarah 238) Ahmad, Nasai dan Ibnu Jarir mengetengahkan dari Zaid bin
Tsabit bahwa Nabi saw. sedang melakukan salat zuhur di tengah hari yang
sangat terik. Tetapi jemaahnya di belakang hanya satu atau dua saf
saja, sementara orang-orang berada di naungan dan perniagaan mereka,
maka Allah pun menurunkan, "Dan peliharalah semua salat dan salat yang
pertengahan!" (Q.S. Al-Baqarah 238) Imam yang berenam dan lain-lain
mengetengahkan dari Zaid bin Arqam, katanya, "Di masa Rasulullah saw.
kami berbicara di waktu salat, sedang seorang laki-laki berkata-kata
dengan teman yang berada di sampingnya hingga turun ayat, 'Dan
berdirilah karena Allah dengan khusyuk...' (Q.S. Al-Baqarah 238) Dengan
demikian kami disuruh supaya diam dan dilarang berbicara." Ibnu Jarir
dan Mujahid mengetengahkan, katanya, "Mereka biasa bicara di waktu
salat, bahkan seorang laki-laki berani menyuruh temannya untuk sesuatu
keperluan. Maka Allah pun menurunkan, 'Dan berdirilah karena Allah
dengan khusyuk.'" (Q.S. Al-Baqarah 238)
Ada sebuah penjelasan mengenai sholat wustho (wustha) sumber disini, Mengenai status ayat 238 dari surat Al-Baqarah yang berbicara tentang sholat wustho, bagi ulama ushul fikih ayat tersebut masuk dalam kategori ayat mujmal (global). Misalnya saja sebagaimana ditegaskan oleh seorang ulama ushul fikih modern dari kalangan mazhab Maliki, yaitu Imam As-Sathibi dalam karyanya Al-Muwafaqat fi ushul as-syari’ah. Dengan demikian, nampaknya tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa sholat wustho sesuatu yang masih sah untuk ditafsirkan. Bagi kalangan pengkaji hukum Islam secara umum berpandangan bahwa ayat-ayat mujmal hanya bisa ditafsirkan dengan bayan bil ayat atau bil-hadis (penjelasan dengan ayat atau hadis). Namun tidak demikian bagi kalangan sufi yang kadang berani keluar dari kaidah ushul dan tetap saja menggunakan ta’wil bathin dalam mengungkap makna yang tersirat di balik kata sholat wustho.
Abu Bakr Muhammad bin Abdullah, atau yang lebih populer dengan sebutan Ibnu Al-Arabi (bukan Ibnu Arabi -tanpa al- tokoh Teosofi Islam yang terkenal dengan gagasan monisme eksistensialnya tapi ini adalah Ibnu Al-Arabi -dengan al- yang merupakan seorang tokoh tafsir dengan spesialisasi tafsir hukum) dalam karyanya ahkam al-quran Jilid I mendokumentasikan beberapa penafsiran para sahabat Nabi dalam memaknai sholat wustho.
Berbeda dengan kalangan ulama tafsir dan fikih, para ulama tasawuf berpandangan bahwa sholat wustho bukanlah salah satu dari sholat lima waktu. Bagi mereka, sholat wustho adalah shalat bathin atau sholat ruhani.
Syeikh Abdul Qodir Jailani yang diakui kedudukannya sebagai waliyul quthb di kalangan dunia tasawuf dan tarekat -sebagaimana dipaparkan Syeikh Al-Hujwiri dalam kitab Kasyful Mahjub- memberikan ulasan yang cukup panjang mengenai sholat wustho. Bahkan dalam salah satu karyanya, Sirr al-Asrar wa Muzhir al-Anwar Fi Ma Yahtaju Ilaihi, Syeikh Abdul Qodir Jailani membahas secara khusus sholat wustho dalam satu bab, yaitu di bab 14 dengan tema Ma’na al-Ibadah.
Bagi Abdul Qodir, dalam ayat 238 surat Al-Baqarah tersebut terdapat dua perintah. Pertama dalam kalimat Hafidzuu ‘ala ash-sholawati adalah perintah untuk memelihara sholat lahiriah dan dalam kalimat selanjutnya, wa ash-sholat al-wustho adalah perintah untuk memelihara sholat ruhani.
Sholat lahiriah adalah sebagaimana didefinisikan ulama fikih, yaitu sekumpulan bacaan dan gerakan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Adapun sholat ruhani adalah sholat yang dilakukan oleh hati secara terus menerus. Sholat ruhani itulah yang dimaksudkan sebagai sholat wustho. Karena, wustho -sesuai dengan maknanya tengah-tengah- memiliki kesamaan dengan posisi hati yang berada di tengah-tengah, di pusat kesadaran dan titik keseimbangan seorang manusia. Jadi yang dimaksud sholat wustho adalah usaha seorang manusia menjaga hatinya untuk selalu berada di pusat kesadaran dengan mengingat Allah, menyebut asma Allah bahkan bertemu dengan Allah secara ruhani. Hatinya tidak pernah lalai dan tidak pernah tidur akan tetapi selalu berdzikir dan menghadirkan Allah.
Sholat lahiriah dilakukan hanya dalam waktu-waktu tertentu, sholat ruhani dilakukan setiap saat, makanya kemudian ada yang menamakannya juga sholat da’im atau dawam. Sholat lahiriah masjidnya adalah ruangan fisik, sholat ruhani masjidnya adalah hati. Berjama’ah dalam sholat lahiriah adalah sholat yang dilakukan bersama-sama saudara seiman, dalam sholat ruhani berjama’ah adalah menghimpun seluruh kekuatan dan potensi diri (akal, ruh dan raga) untuk bersama-sama mengagungkan dan melafalkan asma Allah dengan bahasa bathin. Jika sholat lahiriah dalam berjamaah dipimpin oleh seorang manusia, maka dalam sholat ruhani imamnya adalah tekad yang kuat. Terakhir, jika sholat lahiriah kiblatnya adalah Ka’bah, dalam sholat ruhani kiblatnya adalah “wajah” Allah yang ada di mana-mana dengan segala keindahan-Nya yang maha abadi.
Ada sebuah penjelasan mengenai sholat wustho (wustha) sumber disini, Mengenai status ayat 238 dari surat Al-Baqarah yang berbicara tentang sholat wustho, bagi ulama ushul fikih ayat tersebut masuk dalam kategori ayat mujmal (global). Misalnya saja sebagaimana ditegaskan oleh seorang ulama ushul fikih modern dari kalangan mazhab Maliki, yaitu Imam As-Sathibi dalam karyanya Al-Muwafaqat fi ushul as-syari’ah. Dengan demikian, nampaknya tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa sholat wustho sesuatu yang masih sah untuk ditafsirkan. Bagi kalangan pengkaji hukum Islam secara umum berpandangan bahwa ayat-ayat mujmal hanya bisa ditafsirkan dengan bayan bil ayat atau bil-hadis (penjelasan dengan ayat atau hadis). Namun tidak demikian bagi kalangan sufi yang kadang berani keluar dari kaidah ushul dan tetap saja menggunakan ta’wil bathin dalam mengungkap makna yang tersirat di balik kata sholat wustho.
Abu Bakr Muhammad bin Abdullah, atau yang lebih populer dengan sebutan Ibnu Al-Arabi (bukan Ibnu Arabi -tanpa al- tokoh Teosofi Islam yang terkenal dengan gagasan monisme eksistensialnya tapi ini adalah Ibnu Al-Arabi -dengan al- yang merupakan seorang tokoh tafsir dengan spesialisasi tafsir hukum) dalam karyanya ahkam al-quran Jilid I mendokumentasikan beberapa penafsiran para sahabat Nabi dalam memaknai sholat wustho.
- Zaid bin Tsabit mengatakan bahwa yang dimaksud sholat wustho adalah sholat dzuhur. Bagi Zaid, sholat dzhuhur memiliki keutamaan dibandingkan sholat-sholat lainnya karena sholat dzuhur adalah sholat yang pertama kali difardhukan bagi umat Islam.
- Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa yang disebut sholat wustho adalah sholat Ashar. Pandangan Ali ini didasari hadis rasul yang mengatakan bahwa sholat yang paling besar peluangnya untuk ditinggalkan adalah sholat wustho, dan sholat wustho itu adalah sholat ashar, hingga diperlukan penegasan secara khusus mengenai pentingnya sholat ashar.
- Sebagian sahabat menyebutkan sholat wustho adalah sholat maghrib dengan alasan sholat maghrib adalah satu-satunya sholat yang bilangan raka’atnya ganjil. Hal ini menunjukan keutamaan dan keunikan shalat maghrib dibandingkan sholat lainnya.
- Ada pula sahabat yang mengatakan bahwa sholat wustho itu adalah sholat isya dengan argumentasi bahwa sholat isya adalah sholat yang berada di tengah-tengah (wustho) antara waktu sholat maghrib (menjelang malam) dan sholat subuh (menjelang pagi).
- Ibnu Abbas mengatakan bahwa sholat wustho adalah sholat subuh. Bagi Ibnu Abbas, sholat subuh adalah sholat yang dilakukan di pertengahan malam dan siang.
- Terakhir, ada pula yang berpandangan bahwa sholat wustho adalah sholat Jum’at. Di antara beberapa pandangan yang ada, pendapat Ali bin Abi Thalib lah yang paling masyhur dan sering dikutip banyak orang.
Berbeda dengan kalangan ulama tafsir dan fikih, para ulama tasawuf berpandangan bahwa sholat wustho bukanlah salah satu dari sholat lima waktu. Bagi mereka, sholat wustho adalah shalat bathin atau sholat ruhani.
Syeikh Abdul Qodir Jailani yang diakui kedudukannya sebagai waliyul quthb di kalangan dunia tasawuf dan tarekat -sebagaimana dipaparkan Syeikh Al-Hujwiri dalam kitab Kasyful Mahjub- memberikan ulasan yang cukup panjang mengenai sholat wustho. Bahkan dalam salah satu karyanya, Sirr al-Asrar wa Muzhir al-Anwar Fi Ma Yahtaju Ilaihi, Syeikh Abdul Qodir Jailani membahas secara khusus sholat wustho dalam satu bab, yaitu di bab 14 dengan tema Ma’na al-Ibadah.
Bagi Abdul Qodir, dalam ayat 238 surat Al-Baqarah tersebut terdapat dua perintah. Pertama dalam kalimat Hafidzuu ‘ala ash-sholawati adalah perintah untuk memelihara sholat lahiriah dan dalam kalimat selanjutnya, wa ash-sholat al-wustho adalah perintah untuk memelihara sholat ruhani.
Sholat lahiriah adalah sebagaimana didefinisikan ulama fikih, yaitu sekumpulan bacaan dan gerakan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Adapun sholat ruhani adalah sholat yang dilakukan oleh hati secara terus menerus. Sholat ruhani itulah yang dimaksudkan sebagai sholat wustho. Karena, wustho -sesuai dengan maknanya tengah-tengah- memiliki kesamaan dengan posisi hati yang berada di tengah-tengah, di pusat kesadaran dan titik keseimbangan seorang manusia. Jadi yang dimaksud sholat wustho adalah usaha seorang manusia menjaga hatinya untuk selalu berada di pusat kesadaran dengan mengingat Allah, menyebut asma Allah bahkan bertemu dengan Allah secara ruhani. Hatinya tidak pernah lalai dan tidak pernah tidur akan tetapi selalu berdzikir dan menghadirkan Allah.
Sholat lahiriah dilakukan hanya dalam waktu-waktu tertentu, sholat ruhani dilakukan setiap saat, makanya kemudian ada yang menamakannya juga sholat da’im atau dawam. Sholat lahiriah masjidnya adalah ruangan fisik, sholat ruhani masjidnya adalah hati. Berjama’ah dalam sholat lahiriah adalah sholat yang dilakukan bersama-sama saudara seiman, dalam sholat ruhani berjama’ah adalah menghimpun seluruh kekuatan dan potensi diri (akal, ruh dan raga) untuk bersama-sama mengagungkan dan melafalkan asma Allah dengan bahasa bathin. Jika sholat lahiriah dalam berjamaah dipimpin oleh seorang manusia, maka dalam sholat ruhani imamnya adalah tekad yang kuat. Terakhir, jika sholat lahiriah kiblatnya adalah Ka’bah, dalam sholat ruhani kiblatnya adalah “wajah” Allah yang ada di mana-mana dengan segala keindahan-Nya yang maha abadi.
No comments:
Post a Comment